Di bulan-bulan awal persekolahan di groep 1/2 (setara dengan jenjang TK di Indonesia) Milie mulai menyebut-nyebut nama satu orang temannya. "Tadi Milie main sama Ang," lapornya suatu hari. Ang? Kayak nama orang Myanmar, pikirku, eh itu Aung, deng, Aung San Suu Kyi. Kemudian, hari-hari berikutnya diwarnai dengan cerita seputar Ang: Ang begini, Ang begitu. Aku jadi penasaran, yang mana sih, anak yang bernama Ang.
Pertanyaanku terjawab saat menjemput Milie di siang hari. Ang adalah anak perempuan berambut hitam lurus panjang dan berwajah oriental! Yang menjemputnya adalah seorang wanita Belanda. Rupanya Ang juga bercerita tentang Milie--terdengar saat wanita itu bertanya kepada Ang, "Ini Milie?"
Pertemanan Milie dan Ang semakin akrab. Milie pernah membawa pulang gambar, katanya dari Ang. Sweet banget. Di gambar tersebut ada tulisan "An". Lah, ternyata namanya An, Saudara-saudara, bukan Ang--aku perlu berdebat dengan Milie yang bersikeras nama temannya adalah Ang, bukan An. Di kali lain, giliran Milie yang membuat gambar. "Ini buat An," katanya, lalu dia masukkan ke dalam tas untuk dibawa keesokan harinya.
Guru kelas Milie juga menyebutkan perihal pertemanan akrab ini saat pertemuan dengan orang tua untuk melaporkan perkembangan siswa. Meski Milie juga bermain dengan anak-anak lain, dia paling sering bermain dengan An. Menurut ibu guru, An biasanya pendiam, tetapi dengan Milie dia bisa ngobrol.
Setelah beberapa lama berselang, ada satu nama baru yang mulai disebut-sebut di rumah: Kenji. Dari namanya, aku dan suami hampir yakin bahwa dia adalah orang Jepang. Suatu hal yang langka di Belanda--bahkan sepertinya di negara lain di dunia--mengingat orang Jepang bukanlah tipe petualang. Maka Milie, An, dan Kenji menjadi trio baru di kelasnya. Hal ini kembali diperkuat oleh penuturan ibu guru saat pertemuan dengan orang tua.
Melihat pertemanan Milie, An, dan Kenji, suami sempat berpendapat bahwa kecenderungan untuk mencari teman yang "sejenis" adalah hal yang fitrah. Mereka bertiga direkatkan oleh kemiripan fisik: rambut hitam lurus, kulit putih, mata kecil, wajah Asia. Hipotesis yang tidak berdasarkan bukti ilmiah ini ternyata … salah!
Saat jalan pulang ke rumah sehabis menjemput Milie dari sekolah, dia menunjuk ke arah seorang anak yang sedang menyeberang jalan, agak jauh dari tempat kami berdiri. "Itu Kenji!" Aku tidak melihat anak lain selain yang berambut pirang dan berkulit putih. Tunggu, berambut pirang? Aku tidak salah lihat, 'kan? Rupanya dugaan kami salah, Kenji bukan orang Jepang. Haha …. Aku jadi teringat teman SMP dulu, sama-sama bernama Kenji, hanya saja Kenji yang itu berambut ikal, berkulit cokelat, dan bermata besar. Kenji temanku lahir di Jepang, makanya orang tuanya menamakan dia dengan nama anak Jepang. Mungkin Kenji teman Milie juga demikian atau mungkin orang tuanya ingin nama yang lintas budaya, sebagaimana orang Indonesia memberi nama Megumi untuk anaknya.
Sayangnya mulai tahun ajaran baru selepas liburan musim panas ini cerita akan berbeda karena An naik kelas ke groep 3. Meski begitu, aku yakin Milie tidak akan kesulitan untuk bermain dengan teman-teman yang lain. Dia kerap menyebutkan nama sejumlah anak yang sering bermain bersamanya. Kadangkala dia bahkan tidak bercerita tentang An dan Kenji sama sekali.
Arti berteman bagi anak-anak
Tidak seperti orang dewasa, anak-anak memiliki caranya sendiri untuk berteman. Ada yang mudah bergaul, ada yang memilih untuk menjadi pengamat dulu. Beberapa memiliki teman dekat, yang lain lebih senang bermain dengan banyak teman, ada juga yang nyaman bermain sendiri. Tidak mengapa. Yang penting dengan mengenal teman, mereka memahami bahwa ada orang lain di luar lingkaran terdekat mereka yang bisa mereka percaya untuk bermain bersama. Mereka jadi mengerti makna bekerja sama, berbagi, dan empati. Tak lupa, mereka juga belajar tentang konflik dan cara menghadapinya.
Melalui pertemanan, semoga anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang baik hati, penyayang, serta toleran. Utamanya semoga mereka akan menjadi makhluk sosial yang pandai menempatkan diri kelak. Semoga.