Pages

Monday, July 12, 2021

Bermain Tanpa Mainan



"Mama, mag ik?" tanya Milie meminta izin untuk mengambil kursi yang sedang aku duduki di depan meja kerja. Sambil menoleh ke arah ruang tengah yang jaraknya hanya sekedipan mata, aku melihat empat kursi makan dan satu kursi hitam di sana. Semuanya sudah disusun membentuk formasi tertentu. Rupanya kursiku adalah kursi terakhir yang bisa dia angkat untuk melengkapi konstruksinya sore itu.


Aku lupa kapan Milie mulai gemar menggotong-gotong kursi dan menyusun sesuatu darinya. Usia tiga tahun … atau empat tahun? Entahlah. Namun, di usianya yang kelima, dia sudah kuat mengangkatnya alih-alih menggeser. 


Formasi kursi yang disusun sesuai dengan khayalannya saat itu. Kadang dia hanya menyusun dua kursi untuknya dan dua kursi untuk Mika, mengambil bantal dan selimut, lalu pura-pura tidur. Di saat yang lain dia menyusun empat kursi saling membelakangi satu sama lain, menyisakan ruang di tengah untuk tempatnya berdiam bersama boneka. Dia mewujudkan kastel dengan tembok tinggi menjulang sebagai benteng pertahanan. 


Semakin besar, konstruksi buatannya semakin kompleks. Tidak hanya kursi, Milie juga mengangkat meja kecil sebagai pondasi bagi sebuah kursi kecil. Dia duduk di atasnya bak seorang putri. Selain kursi, pernah juga dia juga menumpukkan meja lain, bahkan tenda mainan. Yang terakhir membuat konstruksinya seperti wahana bermain yang menantang.  


Konstruksi kursi dengan tenda di bagian atas


Selain hobi mengatur kursi, Milie juga senang bermain peran. Paling sering adalah peran sebagai putri Elsa atau Anna dari film Frozen. Dengan selembar handuk alas duduk yang diikat di leher--ditambah satu kepang dari rambutnya yang pendek--dia berputar-putar sambil bernyanyi "Let it go … let it go …". Kalau sudah begitu, tak lama Mika pasti datang kepadaku dengan selembar alas duduk yang lain dan meminta hal yang sama. Dia belum mengerti setiap aku bilang Elsa dan Anna itu perempuan dan karena dia laki-laki, seharusnya dia bukan menjadi putri, melainkan pangeran. Ah, rupanya pamor karakter pangeran kalah jauh. Dulu seringnya dia kebagian menjadi rusa, maka menjadi putri adalah sebuah peningkatan status. 


Milie sebagai Elsa lengkap dengan kepang rambutnya

Mika sebagai rusa


Yang mengasyikkan saat bermain peran adalah anak-anak bisa menjadi apa saja, termasuk binatang. Milie dan Mika biasanya memilih binatang yang dekat dengan keseharian kami, yakni anjing, kucing, dan kuda. Di sini kami biasa melihat anjing dibawa jalan-jalan oleh pemiliknya dengan seutas tali terikat di leher. Oleh karena itu, tidak jarang mereka menirunya dengan mengikatkan tali panjang atau rantai mainan milik Maqi di leher salah satu, lalu yang lain memegangnya dan mengajak si "anjing" jalan-jalan mengelilingi rumah. Pernah suatu kali Mika yang sedang menjadi anjing mengangkat sebelah kaki. Tahu 'kan apa maksudnya? Sontak aku tertawa geli saat melihat adegan penuh totalitas tersebut. 


Oh ya. Satu lagi peran yang suka mereka mainkan: papa dan mama! Adakalanya sesuai gender: Milie menjadi mama karena dia perempuan dan Mika yang laki-laki menjadi papa. Namun, tidak jarang mereka bertukar, Milie menjadi papa dan Mika menjadi mama. Yang membuatku sering terkecoh adalah saat salah satunya memanggil, "Mama …!"


"Iya …," jawabku dengan santai seperti biasa. 


"Bukan Mama ini. Mama Milie," jawab Milie.


Di lain waktu Milie menjawab, "Bukan, Mama Mika."


Biasanya aku merespon, "Ooh … kirain panggil Mama," sambil melanjutkan pekerjaan. Mereka kemudian meneruskan bermain pura-pura menjadi papa dan mama sampai bosan dan memutuskan untuk berganti permainan.


Berikan ruang untuk imajinasi tanpa batas

Dari anak-anak aku belajar bahwa sebenarnya bermain tidak melulu perlu mainan yang disediakan orang tua. Hemat! Tanpa ada mainan pun mereka sudah bisa bermain dengan gembira. Modalnya hanya imajinasi yang, untungnya, tak berbatas. Mereka juga menggunakan barang-barang biasa yang ada di rumah dan mengubahnya menjadi mainan (atau pelengkapnya) yang tak kalah seru. Aku sampai kagum, ada saja ide mereka untuk mewujudkan imaji yang ada di kepala. Yang menakjubkan lagi, kreativitas ini menular. Maqi yang masih bayi mulai mengikuti kebiasaan kakak-kakaknya. 


Sejatinya anak-anak itu hebat, kok. Mereka tidak akan kehabisan ide bermain asalkan kita memberikan ruang kebebasan yang luas (walau tetap ada aturan, ya). Tugas orang tua tinggal mengapresiasi saja. Mudah, 'kan? 

No comments:

Post a Comment