Tinggal di Belanda memberi kami banyak pelajaran baru, salah satunya interaksi antarmanusia. Belanda sebagai negara melting pot adalah tempat bertemunya orang dari berbagai negara, dengan perbedaan ras, warna kulit, warna rambut, postur tubuh, gaya berpakaian, gaya berbicara, dan pastinya perbedaan bahasa serta agama. Adalah hal yang lumrah, apalagi di kota besar, kita mendengar empat bahasa berbeda di empat penjuru mata angin pada saat yang sama. Selain itu juga biasa saja saat kita melihat anak-anak dengan warna kulit eksotis hasil campuran ayah kulit hitam dan ibu kulit putih (atau sebaliknya). Yang unik adalah saat telinga ini menangkap percakapan dalam bahasa Indonesia dari orang tak dikenal. Seakan-akan menemukan saudara yang hilang di tanah rantau.
Sebagai pendatang tentu kami juga harus mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai di negeri kincir angin ini. Orang Belanda menjunjung tinggi kejujuran, meskipun itu harus dibayar dengan mahal, misalnya kasus mundurnya Mark Rutte dari jabatannya sebagai perdana menteri karena skandal subsidi anak Januari silam. Perihal kebebasan juga menjadi hal utama. Mungkin kita sudah tahu bahwa Belanda adalah negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Karena itu, tidak aneh melihat iklan seorang pria dipangku pria lain dengan posisi wajah saling menempel seperti berciuman mesra. Iklan tersebut bukan ada di majalah, lo, tetapi di papan reklame stasiun metro (kereta bawah tanah)!
Berbagai aspek dinamika sosial tersebut tak ayal membuat kami gundah sebagai orang tua, terutama setelah Milie dan Mika mulai bersekolah. Kami menyadari bahwa tinggal di negara minoritas muslim memiliki banyak tantangan. Orang tua harus berusaha ekstra dalam menanamkan ajaran dan nilai Islam kepada anak-anak. Belum lagi paparan lingkungan yang kontras dengan ajaran yang ditanamkan di rumah bisa membuat anak bingung. Semakin besar anak-anak, mereka semakin kuat menyerap apa yang mereka dapat di sekolah. Kalau sudah begini, ajaran di rumah buyar sudah.
Contohnya sesimpel hal berdoa setelah bersin. Kami mengajarkan anak-anak untuk membaca alhamdulillah setelah bersin dan yarhamukallah saat mendengar orang lain bersin. Kemudian, suatu hari di rumah Milie bersin dan mengucap gezondheid layaknya orang Belanda. Ucapan ini kira-kira seperti bless you dalam bahasa Inggris, lah. Meski sudah diingatkan, tetap saja dia mengulanginya. Akhirnya kami mencapai kesepakatan, win-win solution. Dia boleh bilang gezondheid asalkan membaca alhamdulillah terlebih dahulu. Alhasil sekarang setelah bersin dia mengucapkan alhamdulillah, yarhamukallah, gezondheid. Haha …. Negosiasi dengan anak kecil memang susah-susah gampang.
Alhamdulillah di kota tempat kami tinggal banyak imigran dari Turki dan Maroko sehingga muslimah berkerudung bukan pemandangan yang asing. Masjid pun relatif dekat jika bersepeda. Kalau jalan kaki, ya, lumayaaan hitung-hitung olahraga. Hehe …. Hal ini membantu kami dalam memperkenalkan bentuk masjid dan aturan mengenai aurat bagi seorang muslim/muslimah. Setiap pergi jalan-jalan juga kami berusaha untuk mencari masjid meski harus berjalan agak jauh dari tempat tujuan. Kami paling senang saat bertemu dengan sesama muslim, apalagi di masjid. Serasa ada koneksi hati meski hanya berbalas salam atau sekadar senyuman.
Kami beruntung karena ada komunitas muslim Indonesia tempat kami bisa berinteraksi dengan sesama "anak rantau". Sebelum pandemi kami sering menghadiri pengajian di kota tetangga. Selain mengakrabkan anak-anak dengan sumber ilmu, mereka juga bisa bermain dengan teman sebaya. Sayangnya semenjak pandemi, agenda pengajian tersebut tidak ada lagi, diganti dengan silaturahmi virtual saat Idulfitri tahun lalu dan kegiatan khusus anak-anak menjelang Idulfitri tahun ini.
Melalui perkenalan dengan muslim Indonesia yang sudah berpuluh-puluh tahun menetap di Belanda, pengetahuan kami terbuka. Mereka membuktikan bahwa mendidik anak untuk menjadi muslim yang taat di negeri minoritas muslim sangatlah mungkin. Malah bisa jadi anak-anak yang sudah disuguhi oleh keberagaman sejak dini akan lebih taat beragama karena mereka mengerti alasan mempertahankan keimanan di tengah lingkungan yang sekuler.
Lebih sulit bukan berarti mustahil. Semoga Allah Swt. memampukan kami untuk mendidik anak-anak dalam perkara agama, baik selama di sini maupun nanti saat kami sudah kembali lagi ke tanah air. Amin.
No comments:
Post a Comment