Pages

Saturday, July 10, 2021

Anak, Karunia dalam Keluarga

 

Dari yang pernah saya baca, salah satu tujuan menikah adalah untuk memiliki keturunan. Maka dari itu, di awal pernikahan suami saya menanyakan lagi perihal anak. Bagaimanapun it takes two to tango, 'kan? Suami bercerita tentang keputusan temannya untuk tidak memiliki anak karena merasa kebebasannya akan terkekang. Hmm … padahal dengan menikah pun kita sudah tidak bebas, terlebih bagi perempuan. 


Setelah itu kami berdiskusi tentang jumlah anak. Dulu sebelum menikah saya ingin memiliki tiga anak dengan alasan sederhana, Allah suka yang ganjil. Satu terlalu sedikit dan lima terlalu banyak, maka tiga adalah angka yang pas di mata saya. Suami pun setuju saja. Kalau bisa bergantian peran hamil dan melahirkan, mungkin jumlahnya akan lebih banyak.


Hal berikutnya adalah merencanakan kehamilan. Layaknya pengantin baru lain, sepertinya orang-orang di sekitar yang lebih antusias bertanya--ciri orang Indonesia yang niatnya berbeda tipis antara peduli atau kepo--apakah saya sudah hamil atau belum. Biasanya saya tanggapi dengan bercanda, "Sudah, diisi pake nasi," sambil memamerkan senyum terbaik. Namun, sebenarnya kami tidak mempunyai rencana yang definit alias "sedikasihnya (-Nya)". 


Kejutan bernama kehamilan

Sempat terbersit angka tiga bulan setelah menikah meski saya tidak pernah terang-terangan menyebutkan. Masyaallah, Allah Maha Mendengar ternyata benar-benar mengabulkannya. Saya hamil tiga bulan setelah menikah, antara percaya dan tidak. Setelah memeriksakan diri ke dokter, sudah ada tanda-tanda kehidupan di rahim saya. Allahuakbar. 


Sayangnya rencana kami buyar di kehamilan kedua dan ketiga. Saya ingin hamil lagi setelah si sulung Milie berumur tiga tahun, saat dia sudah cukup mandiri sehingga tidak terlalu bergantung kepada saya. Saya bisa fokus ke kehamilan berikutnya. Apalagi suami sedang bersiap untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri.


Takdir Allah berkata lain. Saya hamil kedua saat Milie berusia 1.5 tahun. Reaksi kami tidak lagi seheboh saat kehamilan pertama. Di tengah kegalauan, Allah Maha Penjaga memberikan kelancaran selama kehamilan, terutama saat masa migrasi kami dari Indonesia ke Belanda. Iya, si janin 6 bulan sudah merasakan perjalanan 17 jam lintas benua bersama saya dan Milie. Kami pergi berdua (eh, bertiga) menyusul suami yang sudah pergi lebih dahulu tiga bulan sebelumnya.


Kehamilan ketiga bahkan lebih dramatis. Saya yang sudah ajek dengan ritme hidup sehari-hari bersama Milie dan Mika tidak menduga akan diamanahi sebentuk janin lagi. Sejujurnya saya sempat berpikir untuk menghentikan kehamilan--dan sudah menyampaikannya kepada bidan di klinik--karena merasa tidak siap dengan kehadiran anak ketiga (lagipula apa ada yang benar-benar "siap"?). Setelah merenung berhari-hari, berdiskusi dengan suami, salat dan berdoa memohon petunjuk, sambil mencari info soal prosedur yang legal (ternyata tidak mudah lo, kita harus pergi ke lembaga khusus), akhirnya saya ikhlas dan memutuskan untuk mempertahankan kehamilan. Semoga Allah mengampuni niat saya sebelumnya.


Allah Maha Pengasih dan Penyayang menganugerahkan kehamilan yang sama sekali tidak bermasalah (tentunya di luar mual-mual di trimester pertama, ya). Si janin nomor tiga malah yang paling banyak jalan-jalan naik pesawat, sampai tiga kali! Pertama, lintas benua saat kami mudik ke Indonesia (saya belum tahu bahwa saya sedang hamil); kedua dan ketiga, lintas negara Eropa karena diajak suami yang mengikuti workshop di dua negara. 


Bersyukur dan berdoa

Pada akhirnya riuh rendah suara Milie, Mika, dan Maqi mengisi hari-hari kami dan menjadi bagian tak terlepaskan. Justru ada yang hilang saat mereka pergi ke sekolah. Rumah yang berantakan--dengan peraturan, habis main harus dirapikan kembali--menjadi tanda bahwa mereka sehat, aktif, dan ceria. 


Sekarang saya berada pada titik bersyukur dengan karunia anak dari Allah Swt. walau menyadari beratnya pertanggungjawaban tentangnya kelak di akhirat. Tidak ada yang saya sesali, terutama untuk kehamilan ketiga. Mungkin sebaliknya saya akan didera rasa menyesal tak berujung jikalau mengambil keputusan yang berbeda. Allah Maha Mengetahui kemampuan hamba-Nya.  


Seuntai doa senantiasa saya panjatkan sehabis salat, "Rabbanaa hablanaa min azwajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrata a'yun waj'alnaa lil muttaqiinaa imaaman". Semoga anak-anak kita menjadi penyejuk mata orang tua dan pemimpin orang-orang bertakwa. Amin. 



No comments:

Post a Comment