Yeay, waktunya kontrol gigi!
Hari Rabu yang lalu Milie, Mika, dan Maqi berkunjung ke dokter gigi untuk kontrol rutin. Ini adalah kali ketiga untuk Milie dan Mika dan kali kedua untuk Maqi. Jika anjuran untuk kontrol rutin itu dua kali dalam setahun--atau per enam bulan--, untuk mereka jadwalnya adalah empat bulan. Alasannya karena di gigi Mika sudah ada beberapa lubang kecil! Waduh!
Dibandingkan Milie, Mika lebih sulit untuk diajak kerja sama dalam hal kebiasaan menggosok gigi. Masalahnya seputar keinginan untuk menyikat gigi sendiri, atau ketidakmauan untuk membuka mulut lebar-lebar supaya kami bisa menyikati giginya, atau keinginan untuk buru-buru selesai--dan kabur dari kamar mandi. Dulu malah kami harus memaksa sampai menahan badan Mika saat sikat gigi. Bisa ditebak, tentu dibalasnya dengan perlawanan sengit layaknya adu duel satu lawan satu.
Nah, begitu tahu ada mulai lubang ada kecil, baru deh, Mika mulai "jinak". Ya, selain gambaran "ditambal itu enggak enak", mungkin ada faktor pertambahan usia, pengetahuan, dan kedewasaan juga. Sekarang dia (alhamdulillah) lebih kooperatif dan bersedia diam sejenak, membuka mulut lebar-lebar, dan menahannya saat kami menyikati giginya.
Kembali lagi ke cerita kunjungan ke dokter gigi selumbari.
Untuk kunjungan kali ini Milie dan Mika sudah diberi tahu sehari sebelumnya untuk menyiapkan mental. Di hari H mereka mengulang-ulang sejak pagi. "Nanti ke dokter gigi ya, Mama?" "Mau ke dokter gigi," "Abis ini ke dokter gigi?" begitu terus sampai benar-benar tiba waktunya untuk berangkat.
Oiya, sedikit kilas balik. Waktu kunjungan sebelumnya, Mika sukses mogok masuk ruang periksa. Dia menangis, menjerit, jalan ke arah pintu keluar dan meminta pulang, meski dia sudah melihat Milie yang diperiksa pertama. Iming-iming pakai kacamata Spiderman tidak mempan. Padahal di kunjungan perdana tahun lalu, Mika berani untuk duduk sendiri di kursi periksa walau wajahnya terlihat tegang. Tampaknya dia lupa karena sudah setengah tahun berlalu.
Begitu sampai di klinik, kami lapor dan diminta menunggu. Saya bertanya kepada Mika, "Nanti mau duduk dipangku mama kayak waktu itu atau coba duduk sendiri?" Mika memilih untuk dipangku. Dipangku akhirnya menjadi jalan keluar dari drama yang saya sebutkan di atas. Dulu setelah dibujuk dan ditenangkan, Mika mau diperiksa. Saya ikut duduk di kursi, lalu dokter memberikan cermin supaya dia bisa melihat apa yang dokter lakukan dengan giginya. Win-win solution.
Ruang tunggu di klinik gigi. Sayangnya semua mainan disingkirkan karena alasan higienitas di masa pandemi. |
Suasana ruang periksa |
Tidak lama menunggu, kami dipanggil. Mika diperiksa pertama. Saya bertanya lagi, tapi kali ini dengan kalimat "Mika mau coba duduk sendiri?" Setelah menimbang-nimbang sejenak, dia pun mengangguk. Yes, misi berhasil! Dia bersedia naik ke atas kursi periksa--walau dengan wajah tegang--dan memakai kacamata Spiderman agar tidak silau. Goed gedaan, Mika!
Hore, Mika enggak takut lagi! |
Setelah Mika, giliran Milie yang diperiksa. Bisa dibilang kami beruntung memiliki Milie sebagai anak sulung karena sifatnya yang pemberani dan mudah beradaptasi. Ia menjadi contoh untuk adik-adiknya dalam hal yang membutuhkan keberanian lebih. Pada kontrol di awal tahun tidak ada lubang di gigi Milie. Kali ini ada satu 😓. Oke, berarti kami harus lebih tegas lagi dengan urusan sikat-menyikat gigi ini 💪. No malas-malas club. Malah kata dokter gigi sebaiknya orang tua tetap membantu anak untuk sikat gigi hingga usianya 8-10 tahun.
Milie dengan kacamata hitamnya |
Milie di giliran kedua, lancar jaya. |
Dokter mengoleskan semacam krim rasa stroberi (Mika bilang enggak enak) di setiap lubang untuk melapisinya agar tidak mudah bertambah besar. Milie dan Mika tidak boleh makan dan minum minimal satu jam setelahnya.
Menurut dokter gigi, dengan menyikat gigi yang teratur dan benar lubang tersebut akan tetap kecil sehingga tidak perlu ada tindakan apa-apa. Pasti kita sudah mafhum jadwal menyikat gigi adalah setelah makan pagi dan sebelum tidur. Sebelum tidur lebih penting karena selama tidur produksi air liur berkurang, padahal air liurlah yang membasuh gigi dan mencegah asam dan kuman menetap.
Bagaimana dengan Maqi? Tentu saja dia masih belum mengerti. Walau sudah dipangku, dia tetap menangis dan menolak untuk diperiksa. Dokter hanya mengecek jumlah giginya dan mengatakan akan ada gigi baru yang tumbuh.
Maqi masih takut saat diperiksa |
Saat tahu Maqi masih menyusu di malam hari, dokter berpesan untuk menyikat gigi Maqi setelahnya. Saya hanya mengangguk tanda mengerti, tetapi sebenarnya membatin, Kayaknya bakal sulit, Dok 😆. Karena itu berarti saya harus bangun di tengah malam, padahal untuk menyusui saja saya setengah sadar, tentu sambil berbaring miring (ibu-ibu pasti hafal posisi menyusui paling top ini).
Yang membuat anak-anak senang, masing-masing mendapatkan sebuah sikat gigi dan mainan kecil sehabis diperiksa. Hore! I like how they provide special treats for kids.
Saya memang sengaja mencari klinik gigi khusus anak agar mereka tidak memiliki memori dan kesan yang tidak enak terhadap dokter gigi. Ini ambisi pribadi, sih, karena pengalaman tidak menyenangkan semasa kecil dulu. Suasana ruang tunggu dan ruang periksa, aroma ruang periksa yang khas, dan bunyi alat-alat tindakan benar-benar melekat erat sehingga membuat saya enggan ke dokter gigi kalau bukan karena butuh alias sakit gigi 😩.
Semoga dengan kesan positif di awal perkenalan dengan dokter gigi akan berdampak baik untuk masa depan Milie, Mika, dan Maqi. Mereka tidak perlu takut ke dokter gigi seperti mamanya 🙃. Dengan perawatan yang baik dan pemeriksaan rutin, semoga mereka tidak perlu bersentuhan dengan alat pengebor, dkk (duh, membayangkannya saja sudah membuat ngilu 😩). Kalaupun iya, nanti saja saat mereka sudah lebih kuat menanggung beratnya beban hidup #eaaa.
Oke, deh. Sampai jumpa empat bulan lagi di sesi kontrol gigi berikutnya! Feel free to leave any comments below!